Taketori Monogatari: Induk Dari Perkembangan Monogatari

Untuk memahami perkembangan karya sastra jenis monogatari, penting untuk memahami sejarahnya terlebih dahulu. Dalam hal ini, memahami monogatari pertama yang ada di dunia menjadi kunci penting. Hal ini karena pendahulu merupakan cikal bakal dan inspirasi bagi monogatari yang berkembang setelahnya. Khususnya pada zaman Heian, semua monogatari mengikuti gaya dari Taketori Monogatari. Oleh karena itu, memahami sejarah monogatari menjadi langkah penting dalam memahami perkembangannya.

Meskipun Genji Monogatari dianggap sebagai sebuah mahakarya yang luar biasa, tetapi karya tersebut tidak akan terbentuk tanpa adanya Taketori Monogatari sebagai cikal bakal dan inspirasi dalam pengembangan monogatari, terutama dalam gaya bahasa. Oleh karena itu, sebagai penulis, saya ingin menjelaskan apa yang dimaksud dengan Taketori Monogatari.

Sejarah

Taketori Monogatari, juga dikenal sebagai “Kisah Pemotong Bambu”, merupakan cerita yang berasal dari Cina dan berkembang di Jepang pada sekitar tahun 960 Masehi. Cerita ini kemudian menjadi cikal bakal bagi bentuk cerita yang kita kenal saat ini. Di dalam cerita yang sangat terkenal, Genji Monogatari atau “Hikayat Genji” (bab. 1010), Taketori Monogatari dianggap sebagai induk dari seluruh cerita.

Taketori Monogatari terjadi pada masa Heian di Jepang, ketika bahasa Jepang menyerap aksara kanji dari Cina dan juga mengembangkan karakter fonetik hiragana dan katakana. Meskipun tidak diketahui siapa pengarangnya, cerita ini awalnya beredar secara lisan sebelum kemudian dituliskan oleh seseorang yang identitasnya tidak diketahui hingga sekarang. Manuskrip tertua dari Taketori Monogatari berasal dari tahun 1592. Cerita ini juga dikenal sebagai Kaguya-hime no Monogatari, atau “Kisah Putri Kaguya,” dan telah diadaptasi ke dalam berbagai media seperti animasi, komik, dan film hingga saat ini.

https://www.metmuseum.org/art/collection/search/45361

Narasi

Suatu hari, di dalam hutan bambu yang lebat, seorang kakek tua berjalan sendirian. Ia adalah Taketori no Okina, seorang pemotong bambu yang tidak memiliki keturunan. Tiba-tiba, langkahnya terhenti di hadapan sebuah bambu muda yang memancarkan cahaya keemasan. Penasaran, kakek tua tersebut menebang bambu itu dan terkejut melihat bayi perempuan yang cantik tersembunyi di dalamnya. Tanpa ragu, kakek tua itu membawa bayi itu pulang untuk dibesarkan bersama istrinya. Mereka memberi nama bayi itu Kaguya, yang juga dikenal dengan nama Nayotake-no-Kaguya-hime atau Putri Cahaya Bambu.

Sejak saat itu, setiap kali Taketori no Okina memotong bambu, ia menemukan batu emas di dalamnya, membuatnya semakin kaya dari sebelumnya. Sementara itu, Kaguya-hime tumbuh dari seorang bayi yang jelita menjadi seorang remaja yang menakjubkan, dan kabar tentang kecantikannya menyebar di seluruh negeri.

Tidak lama kemudian, muncul lima pangeran tampan yang berlomba-lomba untuk meminang Kaguya-hime. Taketori no Okina diminta untuk meminta putrinya memilih satu dari mereka, tetapi Kaguya-hime enggan untuk menikah. Sebagai gantinya, ia membuat sebuah tantangan yang mustahil bagi para pangeran, berjanji akan menikahi siapa saja yang berhasil membawa benda khusus dari setiap pangeran. Pertama, mereka harus membawa Mangkuk Batu Buddha dari India, kemudian ranting perhiasan dari pulau mitos Hōrai, kulit tikus dari gunung legendaris di Cina, perhiasan warna-warni dari leher naga, dan terakhir, kerang dari sarang burung walet.

Pelamar pertama kembali dengan tangan kosong, hanya membawa mangkuk biasa yang dia beli dengan harga yang sangat mahal. Kaguya-hime langsung tahu bahwa itu bukanlah Mangkuk Batu Buddha yang asli, karena kecantikan dan keanggunan wajahnya memungkinkan dia untuk membedakan barang palsu dari yang asli. Demikian pula, pelamar kedua membawa barang palsu buatan pengrajin yang jelas-jelas tidak memenuhi persyaratan. Pelamar ketiga tidak beruntung dan membawa kulit tikus biasa yang mudah terbakar. Semua barang itu ditolak oleh Kaguya-hime karena tidak memenuhi kriteria yang dimaksudkan. Pelamar keempat menyerah setelah dihantam badai di tengah laut selama perjalanan panjang. Sementara itu, pelamar kelima – yang dikatakan tewas – kabarnya mengalami patah pinggang di tengah perjalanan dan harus pulang dengan kecewa.

Kabar tentang kegagalan para pangeran yang ingin menikahi Kaguya-hime menyebar hingga ke telinga sang kaisar Jepang, Mikado. Sang kaisar sangat ingin bertemu dengan Kaguya-hime dan meminta Taketori no Okina untuk membujuknya agar mau menikah dengan sang kaisar. Namun, Kaguya-hime tetap menolak meskipun diberi banyak alasan. Bahkan, Kaguya-hime menolak untuk menunjukkan wajahnya di depan sang kaisar. Setelah kaisar dan Kaguya-hime saling bertukar puisi, sang kaisar akhirnya menyerah dan membiarkan Kaguya-hime memilih jalan hidupnya sendiri.

Setiap malam, Kaguya-hime menghabiskan waktu dengan menatap bulan dan menangis tanpa memberi tahu alasan. Namun, ketika tanggal 15 bulan September semakin dekat, tangisnya semakin menjadi-jadi. Akhirnya, Kaguya-hime mengakui identitas aslinya pada Taketori no Okina dan sang kaisar, bahwa ia bukan manusia bumi dan harus kembali ke bulan pada tanggal 15 bulan purnama. Kaguya-hime sangat sedih karena harus meninggalkan orang yang dicintainya di bumi. Prajurit-prajurit dikirim oleh kaisar untuk melindungi Kaguya-hime dari jemputan orang bulan saat ia kembali ke bulannya.

https://www.metmuseum.org/art/collection/search/45361

Malam bulan purnama pun tiba, orang-orang bulan turun ke bumi. Kaguya-hime akhirnya harus kembali ke bulan tempat asalnya setelah menjalani hukuman buang ke bumi. Meskipun tak mampu mencegah jemputan orang bulan, Kaguya-hime memberikan hadiah obat hidup kekal kepada kaisar sebagai tanda mata. Namun kaisar memutuskan untuk membakar obat tersebut di puncak gunung tertinggi di Jepang, Suruga, sebagai penghormatan kepada Kaguya-hime. Dikatakan bahwa kata abadi “fushi” atau “fuji” berasal dari nama gunung tersebut. Para prajurit kekaisaran juga diyakini telah mendaki lereng gunung dengan membawa perintah dari kaisar, yang kemudian menginspirasi nama Gunung Fuji yang artinya “Gunung yang Penuh dengan Prajurit”. Legenda ini menjadi salah satu kisah yang populer di Jepang, dan kabarnya, obat yang dibakar di atas gunung membuat Gunung Fuji selalu mengeluarkan asap hingga sekarang.

Gaya Bahasa

Gaya bahasa Taketori Monogatari dapat dianggap sebagai bahasa Jepang klasik (古文 kobun). Pada situs yang menyediakan transkripsi Taketori Monogatari oleh fakultas seni dan sains Universitas Ohio, terdapat penjelasan bahwa beberapa transkripsi Taketori Monogatari memiliki gaya bahasa kuno, di mana beberapa kanji yang saat ini dibaca dengan cara yang berbeda pada masa lalu, seperti kanji 本 dalam kalimat “本光る竹なむ一筋ありける。” yang dibaca sebagai “moto” yang berarti “dasar”. Selain itu, kata 八月 dalam kalimat “八月の十五日ばかりの月に出でて、かぐや姫、いといたく泣き給ふ。” dibaca sebagai “hadzuki” yang berarti “delapan bulan (dalam setahun)”. Hal ini disebabkan Jepang pada masa itu menggunakan penanggalan kalender suryacandra (lunisolar), di mana tahun dimulai pada bulan Februari. Oleh karena itu, hadzuki tidak dapat dianggap sebagai bulan Agustus. Bulan kedelapan pada saat itu kemungkinan pada pertengahan musim gugur.

Hubungan Dengan Karya Sastra Lainnya

Taketori Monogatari memiliki relasi dengan kisah sastra lainnya, seperti dalam Man’yōshū (bab. 759; puisi #3791), tokoh bernama Taketori no Okina juga disebutkan. Dalam puisi tersebut, Taketori no Okina bertemu dengan sekumpulan perempuan untuk membacakan puisi, mengindikasikan bahwa sebelumnya telah ada gambaran atau kisah tentang pemotong bambu dan perempuan-perempuan mistik. Penceritaan kembali terjadi di abad ke-12, dalam Konjaku Monogatarishū (volume 31, bagian 33), meski hubungannya masih diperdebatkan.

Pada tahun 1957, Kisah Dongeng Tibet dari Cina yang disebut Jīnyù fènghuáng (金玉鳳凰) diterbitkan, dan pada tahun 1970, para peneliti kesusastraan Jepang menyadari bahwa cerita dari Bānzhú Gūniang (班竹姑娘), salah satu dongeng dalam buku tersebut, memiliki persamaan dengan Taketori Monogatari. Awalnya, banyak peneliti berpikir bahwa “Bānzhú Gūniang” pasti memiliki hubungan dengan Taketori Monogatari, meskipun beberapa peneliti meragukannya.

Namun, pada tahun 1980, studi menunjukkan bahwa hubungan ini tidak sesimpel yang diperkirakan. Okutsu memberikan ulasan dan catatan tentang penelitian bahwa Jīnyù fènghuáng adalah buku yang ditujukan untuk anak-anak, dan editor mengadaptasi cerita dan mengubahnya menjadi buku tersebut. Tidak ada kompilasi dongeng Tibet yang benar-benar mengandung cerita tersebut.

Penulis buku Tenzin Tashi, yang merupakan keturunan Tibet asli, menulis bahwa ia tidak mengetahui cerita tersebut. Peneliti kemudian pergi ke Sichuan dan menemukan bahwa, selain dari mereka yang telah membaca Jīnyù fènghuáng, peneliti lokal di Chengdu tidak mengetahui kisah tersebut. Orang Tibet yang tinggal di prefektur otonomi Tibet dan Qiang Ngawa juga tidak mengetahui cerita tersebut.

Adaptasi

Pada tahun 1975, acara televisi populer Jepang Manga Nihon Mukashi Banashi (Kartun Cerita Legendaris Jepang) menampilkan adaptasi Taketori Monogatari yang disutradarai oleh Takao Kodama, dengan animasi dari Masazaku Higuchi dan seni oleh Koji Abe.

Leiji Matsumoto mengadaptasi cerita tersebut dalam serial manga Jepang Queen Millenia, yang kemudian diadaptasi menjadi anime sebanyak 42 episode oleh Toei Doga dan disiarkan di seluruh dunia, termasuk di Jerman, Perancis, Spanyol, Italia, Meksiko, dan Chili. Pada tahun 1982, animasi layar lebar yang merupakan kumpulan dari serial televisinya juga dirilis.

Pada tahun 1987, Kon Ichikawa membuat sebuah film dengan cerita Taketori Monogatari yang diberi judul Princess from the Moon. Sedangkan Studio Ghibli merilis animasi layar lebar pada tahun 2013 dengan judul The Tale of the Princess Kaguya, sebuah animasi dengan cerita yang berdasarkan pada Taketori Monogatari.

Kesimpulan dan Saran

Kisah ini adalah bagian dari budaya Jepang yang berkembang dari mulut ke mulut dan kemudian dituliskan menggunakan bahasa yang ada. Meskipun terdapat pengaruh budaya Cina dalam kisah ini, Taketori Monogatari dianggap sebagai pendahulu dari seluruh jenis sastra monogatari. Namun, kurangnya referensi untuk mencari tahu tentang karya sastra khususnya monogatari merupakan kelemahan yang perlu diatasi.

Indonesia juga dapat menggali informasi tentang sejarah kesusastraan Jepang yang kaya dan penting dalam perubahan dan perkembangan bahasa itu sendiri. Dengan begitu, kita dapat lebih memahami kekayaan budaya Jepang serta meningkatkan pemahaman dan keterampilan bahasa Jepang kuno.

Cerita legendaris Taketori Monogatari, yang muncul pada abad ke-10, tetap menarik hingga saat ini, terutama bagi para pembelajar bahasa Jepang yang tertarik mempelajari bahasa kuno dan gaya bahasa yang digunakan dalam kisah tersebut. Terdapat transkrip dengan alat tambahan yang memudahkan pemahaman makna dari kosakata lama serta tata bahasa yang berbeda dengan bahasa Jepang modern. Situs ini telah saya sertakan dalam daftar pustaka.


Referensi:

Sumber tercetak:

Asoo, Isoji, dkk. 1983. Sejarah Kesusastraan Jepang (Nihon Bungakushii), terj. Staf Pengajar Jurusan Asia Timur Seksi Jepang Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press)

Sumber lain dari internet:

https://en.wikipedia.org/wiki/The_Tale_of_the_Bamboo_Cutter https://taketori.asc.ohio-state.edu

Tinggalkan komentar